Minggu, 07 Februari 2010

Laksamana Cheng Ho

Timur Tengah, India, dan China. Dari tiga wilayah ini, Islam disebarkan di Indonesia. Sayang, belum banyak karya tulis yang mengupas secara detail peran penting komunitas China muslim dalam penyebaran Islam di Indonesia. Hanya peninggalan purbakala Islam di Indonesia yang dipengaruhi budaya China yang menjadi bukti kehadiran mereka.


Oleh: M Subchan S

Ditinjau dari aspek politik-budaya, Indonesia adalah sebuah negeri berpenduduk mayoritas muslim dengan anatomi yang pelik. Selain memiliki beragam suku, negeri ini juga terdiri dari bermacam agama dan aliran kepercayaan.
Demikian disampaikan Prof Dr Ayu Sutarto MA dari Universitas Jember dalam seminar internasional Budaya Islam Nusantara-Tiongkok di kantor PWNU Jatim, Selasa (27/5).
Hadir pula pembicara lain yakni Wakil Sekretaris Umum Asosiasi Islam China Amu’er Zhang Guanglin, dan Wakil Presiden Institut Islam China Esa Gao Zhanfu. Menilik dari jumlah agama yang berkembang, lanjut Sutarto, sering muncul kesan jika negeri ini merupakan bangunan politik yang menampung berbagai agama di dunia.
Dia mencontohkan sejarah kebudayaan Indonesia yang sangat menarik. Ketika agama Budha masuk, Candi Borobudur mewarnai peradaban yang dibangunnya. Hindu masuk, Prambanan menjadi ikon keimanan umat Hindu. Islam masuk, masjid dan musala dibangun sebagai wahana pemeluknya untuk membangun jaringan dakwah. Belanda masuk, gereja didirikan.
Terkait penyebaran Islam yang akhirnya dipeluk sebagian besar masyarakat Indonesia, menurut Ketua Tanfidiyah PW NU Jatim KH Hasan Mutawakkil Alallah, itu karena dilakukan dengan mengedepankan proses dialog, perdagangan, pertukaran seni dan budaya serta keluhuran moral.
“Saya tidak ingin terjebak soal teori tentang asal-usul penyebar Islam di Indonesia. Paling tidak, di antara para sejarawan terdapat tiga teori tentang hal ini. Dibawa oleh pendatang dari Yunan, China, langsung dari Mekkah dan Gujarat, India,” ujarnya saat memberikan sambutan.
Namun, tambah Hasan, hal yang jelas adalah pendatang dari tiga wilayah berbeda ini memiliki andil besar dalam proses penyebaran Islam di Indonesia. Tak mengherankan bila budaya para pendatang muslim dari Timur Tengah, China dan India menjadi bagian tak terpisahkan dari cara hidup penduduk Indonesia.
“Yang jelas Islam berkembang lebih dulu di China dibanding di Indonesia,” ujar pengasuh ponpes Zainul Hasan Genggong, Probolinggo itu.
Sutarto berpendapat hampir sama. Selama ini, ujar dia, sejarah masuknya Islam ke Indonesia masih didominasi dua kesimpulan yang masih bisa diperdebatkan. Pertama, Islam dibawa para pedagang dari Arab atau Timur Tengah. Kedua, Islam datang dari India.
Dia mengungkapkan, para sejarawan umumnya melupakan komunitas China muslim yang juga ikut andil dalam perkembangan Islam di Indonesia, utamanya di Jawa. Sejauh ini, imbuh dia, belum ada satu karya ilmiah yang membahas secara rinci sumbangan China muslim terhadap syiar Islam di Indonesia.
Ini beda dengan kajian soal sejarah politik China muslim. Seperti dipaparkan Hasan, penelitian tentang sejarah politik China muslim sudah banyak. Misalnya tulisan De Graaf, Pigeaud, Riclefs, Poortman, Tom Pires, Parlindungan, Djajadiningrat, dan Slamet Mulyana. Sumber-sumber lain juga bisa ditemukan di buku Babat Tanah Jawi dan Babat Melayu.
Minimnya karya ilmiah soal penyebaran Islam oleh China muslim membuat sejarawan sulit memperkirakan awal perkembangan China muslim di Indonesia. Meski begitu, banyak bukti sejarah berupa benda-benda arkeologis dan antropologis yang berhubungan dengan kebudayaan China.
“Melihat bukti-bukti sejarah itu menunjukkan jika kontak budaya antara China dengan Indonesia sudah berlangsung berabad-abad,” tukas Sutarto.
Dia menyebutkan ukiran padas di masjid kuno Mantingan, Jepara; menara masjid di Pecinan Banten; kontruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik; arsitektur keraton dan Taman Sunyaragi di Cirebon, konstruksi masjid Demak terutama soko tatal pada salah satu tiang penyangga masjid serta lambang kura-kura.
Bukti lain, kata dia, adalah dua masjid megah di Jakarta. Yaitu masjid Kali Angke yang dikaitkan dengan Gouw Tjay dan masjid Kebun Jeruk yang didirikan oleh Tamien Dosol Seeng dan Nyonya Cai. Cerita lisan Dampu Awang yang tersebar di masyarakat pesisir utara Jawa juga menunjukkan pengaruh itu.
Soal soko tatal pada tiang masjid Demak, menurut Hasan, terinspirasi oleh model susunan pada konstruksi jung atau kapal-kapal besar China zaman dulu yang dibuat dari patahan-patahan kayu. Model ini memiliki tingkat kelenturan yang baik sehingga sangat kuat menghadapi terpaan angin dan ombak.
Sutarto menerangkan, beberapa pemerhati kebudayaan berpendapat bahwa kehadiran muslim China bukan hanya berasal dari imingran muslim asal China. Tapi juga dari hubungan internal etnik China, antara China muslim dan non muslim. Semula, kedatangan etnis China ke Indonesia bertujuan untuk unjuk eksistensi dan kepentingan ekonomi. Bukan untuk menyebarkan agama Islam. Umumnya, mereka berasal dari Zhangzhou, Quanzhou, dan Guangdong.
“Meski begitu, kehadiran mereka berdampak besar pada perkembangan Islam di Indonesia,” tukasnya.
Misalnya saja, muhibah Laksamana Cheng Hoo (Zheng He) ke Indonesia pada abad 15. Maksud awal muhibah itu adalah untuk membangun hubungan antara China dengan negara-negara di Asia dan Afrika. Tetapi, beberapa anak buah Cheng Hoo tercatat sebagai muslim. Sebut saja Ma Huan, Guo Chong Lie, Ha San Shban, dan Pu He Ri. Dua nama yang disebut pertama mahir berbahasa Arab dan Persia serta bekerja sebagai penerjemah. Adapun Ha San adalah ulama masjid Yang Shi di Kota Ki An. Dalam kurun 1421-1431 Masehi, rombongan Cheng Hoo singgah di Jawa, Palembang, Aceh, Batak, Kalimantan, Pulau Karimata, Pulau Belitong dan lainnya.
Perjumpaan Cheng Hoo dengan etnis Jawa, tutur Sutarto, melahirkan apa yang disebut Sino-Javanese Muslims Cultures atau kebudayaan Cina-Jawa-Muslim. Kebudayaan ini terbentang dari Banten, Semarang, Demak, Jepara sampai Surabaya pada abad 15-16..
“Argumentasi ini bukan hanya merujuk pada laporan Ma Huan tetapi juga oleh beberapa pengembara asing lain seperti De Baros dari Portugis, Loedwieks dari Belanda dan Ibmu Battuta,” tandasnya.
Penyebaran Islam oleh China muslim terus berkembang hingga berdirinya organisasi dakwah bernama Persatuan Islam Tionghoa (PIT) pada tahun 1931 di Deli Serdang, Sumatera Utara. Pendirinya adalah Haji Yap Siong dari Moyen, China. Dia berdakwah mulai Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat dan Jawa Timur dengan bahasa Mandarin.
Di tahun 1953, Kho Goan Tjin mendirikan organisasi dakwah bernama Persatuan Muslim Tionghoa (PMT) di Jakarta. pada tahuun 1954, dua organisasi ini dilebur. Dalam perjalanannya, organisasi ini bubar karena berbeda pandangan jelang Pemilu tahun 1955. Lantas pada 14 April 1961, atas prakarsa H Isa Idris dari Pusat Rohani TNI AD mendirikan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) di Jakarta. PITI kala itu merupakan gabungan PMT dan PIT. Pendiri PITI antara lain Abdul Karim Oei, Tjeng Hien, Abdusomad Yap A Siong, dan Kho Goan Tjin.
Sampai sekarang, PITI masih aktif mempersatukan muslim China dengan muslim Indonesia serta muslim China dengan etnis China dan etnik China dengan Indonesia asli. Bagi Sutarto, keberadaan China muslim sesungguhnya cukup strategis dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang multikultural dan hidup dalam harmoni.
“Dalam konteks ini, PITI dapat berperan dan memberi kontribusi berarti untuk memenuhi cita-cita itu,” pungkasnya.
Serupa Tapi Tak Sama
Penyebaran Islam di Indonesia dan China memiliki beberapa kemiripan. Utamanya adalah penyebar ajaran Islam. Bila di Indonesia, Islam disebarkan oleh pedagang dari Timur Tengah, India dan China maka di China, Islam hanya disebarkan oleh pedagang asal Timur Tengah. Khususnya dari Arab dan Persia.
Menurut Wakil Sekretaris Umum Asosiasi Islam China, Amu’er Zhang Guanglin, Islam masuk ke Tiongkok pada abad ke-7 sampai abad ke-16.
“Merekalah yang paling awal membawa masuk isi dan bentuk agama Islam ke China. Jumlahnya ratusan ribu,” ujarnya.
Ketika singgah, lanjut dia, otomatis mereka memerlukan tempat untuk menunaikan salah satu rukun Islam yaitu salat. Untuk itu, para pedagang Arab dan Persia itu mulai membangun masjid-masjid di tempat mereka berada terutama di pesisir laut. Tepatnya di wilayah Beijing sampai Hangzhou. Di dua wilayah itu mereka membangun masjid Huashengsi (Rindu Nabi) di Guangzhou, Fenghuangsi (Phoenix) di Hangzhou, Shengyousi (Sahabat Nabi) di Quanzhou, Xianhesi (Bangau Putih) di Yangzhou dan lainnya.
Tak sedikit pedagang Arab dan Persia yang memutuskan menetap. Mereka membawa kebudayaan sendiri yang berbasis pada rukun Islam dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Lambat laun, gaya hidup Islam itu mempengaruhi budaya tradisional dan kepercayaan masyarakat di berbagai kota di China.
Wakil Presiden Institut Islam China Esa Gao Zhanfu menambahkan, penyebaran Islam selama seribu tahun itu telah menjangkau 10 suku minoritas di China. Antara lain, suku Hui, Uygur, Kazak, Dongxiang, Kirgiz, Salar, Tarjik, Ozbek, Bao’an, dan Tartar.
Esa menerangkan, penyebaran Islam di China disampaikan dengan cara damai tanpa pertumpahan darah. Pemerintah pusat dan dinasti-dinasti zaman dulu telah menerapkan kebijakan untuk mengutamakan sikap toleransi terhadap agama Islam. Bahkan, sejak berdirinya Republik Rakyat China pada 1 Oktober 1949, suku-suku minoritas pemeluk Islam mendapatkan hak yang sama.
“Ini membangkitkan antusiasme masyarakat muslim di China untuk cinta negara dan agama,” tuturnya.
Saat ini, lanjut dia, China telah memiliki 43.000 imam, 35.000 masjid, 10 institut agama Islam, ratusan sekolah Bahasa Arab dan kebudayaan Islam. (29 Mei 2008 )



Tidak ada komentar:

Posting Komentar