Minggu, 07 Februari 2010

Sungai Lijiang

Setiap menyebut sebuah nama kota, tentu kita akan mengaitkannya dengan sebuah sungai, dan justru sungai yang mengalir melalui kota itulah memberikan kota ini keindahan dan pesona. Itulah kota Guilin dan Sungai Lijiang.
Sungai Lijiang sepanjang lebih 400 km bermata air di Gunung Maoer, Kabupaten Xing'an di sebelah utara kota Guilin.

Panjang Sungai Lijiang antara kota Guilin dan Kabupaten Yangshuo 83 km, pemandangan kedua tepi sungai sangat indah, merupakan obyek wisata pemandangan karst yang terbesar di dunia dan paling berjasa dalam mengharumkan nama kota Guilin.
Ada penyair Tiongkok zaman kuno yang memuji pemandangan Guilin nomor satu di dunia. Kata-kata itu sampai sekarang masih sering digunakan untuk melukiskan keindahan pemandangan kota tersebut, dan inti sari pemandangan kota Guilin adalah panorama di kedua tepi Sungai Lijiang. Air sungai yang bening bagai cermin diapit oleh bukit-bukit dalam aneka bentuk dengan menjatuhkan bayangan di permukaan air sungai membentuk pemandangan indah bagai pigura.
Mereka yang pernah berkunjung ke Guilin memuji pemandangan kota itu indah seperti lukisan tradisional Tiongkok, pemandangan alam dan kota berpadu harmonis, sehingga sulit membedakan apakah kota berada di tengah pemandangan alam atau sebaliknya. Di Guilin, kita tidak perlu khusus pergi ke suatu obyek wisata tertentu untuk menyaksikan keindahan Sungai Lijiang. Di setiap pelosok kota ini kita dapat menyaksikan daya pesonanya.
Bukit Belalai Gajah yang terletak di tepi Sungai Lijiang adalah lambang kota Guilin, bentuk bukit itu seperti seekor gajah sedang menjulurkan belalainya menghirup air di sungai. Di antara belalai dan tubuh gajah itu terdapat sebuah lubang di mana air sungai melintas. Memandang Bukit Belalai Gajah dari jauh pada saat bulan purnama akan tampak lubang itu bagai rembulan di permukaan air, sedang bulan yang sebenarnya terpantul di permukaan sungai sehingga tampai seperti ada sebuah lagi bulan purnama. Inilah pemandangan "bulan di permukaan sungai Bukit Belalai Gajah" yang disebut oleh warga Guilin.
Mengenai Bukit Belalai Gajah itu, seorang warga Guilin, Ma Weimin menuturkan sebuah dongeng: Sekelompok gajah sakti Kaisar Giok di kayangan tidak ingin pulang setelah menyaksikan keindahan pemandangan di Guilin sesampai di kota itu. Lalu sang kaisar mengeluarkan titah memerintahkan gajah-gajah itu pulang ke kerajaan di kayangan, namun ada seekor gajah bagaimanapun tidak mau meninggalkan Guilin yang indah permai itu. Sang kaisar yang menjadi murka menghunus pedang dan menghunjamkannya ke tubuh gajah itu sehingga memaku gajah tersebut di tepi Sungai Lijiang untuk selama-lamanya.
Di atas bukit itu ada sebuah pagoda yang dibangun pada abad ke-14, bentuknya seperti gagang pedang sang kaisar yang menghukum mati gajah sakti itu.
Dibanding dengan gajah itu, penduduk Guilin yang tinggal di tepi Sungai Lijiang jauh lebih beruntung, karena untuk bisa tinggal di Guilin, gajah itu harus mengorbankan jiwanya, sedang penduduk Guilin dapat hidup bahagia di tepi sungai, dengan sepuas hati menikmati keindahan pemandangan kota yang diperindah Lijiang itu tanpa harus khawatir akan dihukum. Ma Weimin misalnya, setiap pagi ia mendaki Bukit Belalai Gajah menyusuri jalan kecil beranak tangga sampai ke puncak. Di sana ia melepas pandang sejauh-jauhnya ke seluruh kota Guilin yang indah permai.
Warga Guilin merasa sangat bahagia tinggal di kota yang begitu indah pemandangannya. Mereka berdiri di tepi Sungai Lijiang atau berjalan santai atau duduk mengobrol sambil minum teh, dan ada pula yang asyik memancing di pinggir sungai, semua tampak begitu damai dan senang. Seorang pemuda bernama Zhang Zhengfei mengatakan, tepi Sungai Lijiang lebih ramai lagi pada malam musim panas.
Dikatakannya, "Di kala musim panas, banyak orang mencari udara sejuk atau menikmati keindahan Sungai Lijiang. Irama hidup di kota Guilin santai, tidak secepat kota-kota besar. Guilin adalah sebuah kota yang sangat layak dihuni."
Tepat seperti kata Zhang Zhenfei bahwa Guilin memang sebuah kota yang sangat layak untuk dihuni, tidak ada kesibukan dan hiruk pikuk yang begitu intens seperti di kota-kota besar. Langkah bergegas kehidupan di zaman modern seolah melamban dan menjadi santai di tengah keindahan pemandangan kota ini.
Barangkali sudah terbiasa dengan kehidupan santai, warga Guilin umumnya tidak sarapan pagi di rumah. Mereka lebih suka menikmati sarapan pagi berupa bihun kuah yang beraneka ragam di warung-warung pinggir jalan. Bagi warga Guilin, menyantap semangkuk bihun kuah yang lezat setelah latihan fisik pagi di tepi sungai merupakan pembuka acara kehidupan satu hari.
Hidangan bihun digemari warga Guilin, tua dan muda, juga para pengunjung. Kong Xiaoling mengatakan,"Di pinggir jalan dan gang-gang banyak terdapat warung yang menjual hidangan bihun. Sangat mudah dan cepat, apalagi bagi mereka yang bergegas memburu waktu." Demikian kata Kong Xiaoling.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar